Guru Agama Itu Beda !?
Sebenarnya tulisan pertama saya di guru aru ini bisa dikategorikan
curhat. Yah curhat seorang guru agama yang sepertinya masih dipandang
beda dengan kesan negatif dibanding guru bidang studi lain. Kalau mau
sedikit Jabariyah, maka cukup mengatakan “ini sudah takdir
seorang guru agama kok.” Tapi dari sisi lain, ada yang keliru melihat
posisi guru agama dalam konteks pendidikan.
Saya masih teringat dengan arahan Kepala Kemenag di Kabupaten tempat tinggalku; “Jika seorang guru olahraga (kebetulan) berbuat tidak senonoh, masyarakat akan marah. Tapi jika seorang Guru Agama berbuat tidak senonoh, maka masyarakat akan sangat marah sekali.”
Senada dengan beberapa kejadian terkait akhlak yang tidak diharapkan dari sisiwa di sekolah, maka guru lain dan masyarakat sekitar menoleh kepadaku selaku guru agama. seorang siswa berkelahi di luar pagar sekolah, masyarakat sekitar berkata, “emangnya guru agamanya siapa?”.
Ada sedikit pergeseran memahami peranggungjawaban terhadap peserta didik. Guru agama seakan menjadi tumpuan satu-satunya terkait baik buruknya akhlak peserta didik di sekolah. Pergeseran pemahaman ini, turun temurun, terus sampai ke masyarakat secara luas. Pun demikian, anggapan keliru jika akhlak hanya bisa diselesaikan dengan bahasa agama. Ini pertama.
Kedua, secara administratif ada perlakuan khusus bagi guru agama dibandingkan dengan guru selain guru agama. Beeberapa hal substansial administratif seorang guru agama harus berurusan dengan Kementrian Agama, seperti masalah sertifikasi, bahkan guru agama mendapat pengawas khusus dari pihak Kementrian Agama.
“Kerja double” ini sedikit banyak merepotkan guru agama terutama yang berasal dari kementrian pendidikan. Karena selain harus berurusan dengan Dinas Pendidikan, juga harus berurusan dengan Kementrian Agama. Saya sering mengalami hal “merepotkan” ini apalagi jika durasi waktu kegiatan administratifnya berdekatan.
Ketiga, Guru agama katanya hanya bisa agama. Untuk hal ketiga ini, terkesan gimanaaa gitu … Saya terkadang mengalaminya. Suatu ketika, kurikulum meminta saya menggantikannya. Hal ini kemudian mencuat dalam rapat dan menjadi perdebatan panjang. Dan satu alasan unik bagi saya, “saya tidak layak, karena cuma guru agama.”
Pernah pula, ketika akan membuat website sekolah, saya menawarkan diri untuk membuatnya. “Hitung-hitung lebih murah kalau orang dalam,” kataku. Tapi lagi-lagi kalimat unik itu terdengar. Walhasil, mereka memesan di luar, dan tempat memesannya kebetulan meminta tolong kepada saya membuatnya.
Maih banyak hal yang secara pribadi saya alami, dan meyakinkan saya kalau selama ini, atau mungkin benar kalau guru agama itu beda. Cita-cita bersama membentuk karakter peserta didik, mendidik anak bangsa ke jalan yang benar, sepertinya memiliki rintangn baru secaa pribadi bagi saya seorang guru agama. Semoga hanya terjadi di daerah saya.
Sumber: guraru.org
Saya masih teringat dengan arahan Kepala Kemenag di Kabupaten tempat tinggalku; “Jika seorang guru olahraga (kebetulan) berbuat tidak senonoh, masyarakat akan marah. Tapi jika seorang Guru Agama berbuat tidak senonoh, maka masyarakat akan sangat marah sekali.”
Senada dengan beberapa kejadian terkait akhlak yang tidak diharapkan dari sisiwa di sekolah, maka guru lain dan masyarakat sekitar menoleh kepadaku selaku guru agama. seorang siswa berkelahi di luar pagar sekolah, masyarakat sekitar berkata, “emangnya guru agamanya siapa?”.
Ada sedikit pergeseran memahami peranggungjawaban terhadap peserta didik. Guru agama seakan menjadi tumpuan satu-satunya terkait baik buruknya akhlak peserta didik di sekolah. Pergeseran pemahaman ini, turun temurun, terus sampai ke masyarakat secara luas. Pun demikian, anggapan keliru jika akhlak hanya bisa diselesaikan dengan bahasa agama. Ini pertama.
Kedua, secara administratif ada perlakuan khusus bagi guru agama dibandingkan dengan guru selain guru agama. Beeberapa hal substansial administratif seorang guru agama harus berurusan dengan Kementrian Agama, seperti masalah sertifikasi, bahkan guru agama mendapat pengawas khusus dari pihak Kementrian Agama.
“Kerja double” ini sedikit banyak merepotkan guru agama terutama yang berasal dari kementrian pendidikan. Karena selain harus berurusan dengan Dinas Pendidikan, juga harus berurusan dengan Kementrian Agama. Saya sering mengalami hal “merepotkan” ini apalagi jika durasi waktu kegiatan administratifnya berdekatan.
Ketiga, Guru agama katanya hanya bisa agama. Untuk hal ketiga ini, terkesan gimanaaa gitu … Saya terkadang mengalaminya. Suatu ketika, kurikulum meminta saya menggantikannya. Hal ini kemudian mencuat dalam rapat dan menjadi perdebatan panjang. Dan satu alasan unik bagi saya, “saya tidak layak, karena cuma guru agama.”
Pernah pula, ketika akan membuat website sekolah, saya menawarkan diri untuk membuatnya. “Hitung-hitung lebih murah kalau orang dalam,” kataku. Tapi lagi-lagi kalimat unik itu terdengar. Walhasil, mereka memesan di luar, dan tempat memesannya kebetulan meminta tolong kepada saya membuatnya.
Maih banyak hal yang secara pribadi saya alami, dan meyakinkan saya kalau selama ini, atau mungkin benar kalau guru agama itu beda. Cita-cita bersama membentuk karakter peserta didik, mendidik anak bangsa ke jalan yang benar, sepertinya memiliki rintangn baru secaa pribadi bagi saya seorang guru agama. Semoga hanya terjadi di daerah saya.
Sumber: guraru.org
0 Response to "Guru Agama Itu Beda !?"
Posting Komentar
Pesan, kritik dan saran positif silahkan tulis di kolom komentar